Bismillaahirrahmaanirrahim…
Aku merasa harus mengucapkan sebait do’a supaya proses menulis ini lancar.
Hari kedua lebaran. Aku membuat jadwal. Sebetulnya aku orang yang nggak suka terikat aturan ketat. Namun aku menyadari bahwa orang sepertiku terkadang justru perlu diatur jadwal ketat untuk melatih kontrol diri. Kontrol diriku amat parah dan aku menunda terlalu sering. Aku mesti belajar sedikit kedisiplinan. Menurutku, kunci kesuksesan adalah disiplin. Karena disiplin mengandung kerja keras, keuletan dan dedikasi. Bagaimana mungkin Daniel Day Lewis menjalankan risetnya mengenai Abraham Lincoln selama setahun kalau bukan karena kedisiplinan? Ah, kenapa aku baru sadar kalau nggak ada yang manis dari setiap perjalanan? Bahwa setiap mimpi adalah realita yang mesti dihadapi, dan hidup tidak lain adalah tentang bertindak. I’ve been spending my youth time recklessly.
Ngomong-ngomong soal Daniel Day Lewis, beberapa waktu lalu ia mengumumkan keputusannya pensiun sebagai aktor. Penampilan terakhirnya dapat dilihat dalam film Paul Thomas Anderson terbaru berjudul Phantom Thread yang bakal rilis perdana akhir tahun ini. Sebagai fans, aku agak sedih. He’s one of the best actors alive. Biasanya, ketika aku menilai sebuah film, aku sangat berfokus pada cerita. Meski aku memperhatikan penampilan aktornya, daya tarik mereka tidak pernah melebihi filmnya itu sendiri. Tapi ketika aku nonton Lincoln, yang selalu kuingat sampai sekarang adalah sosok mantan presiden Amerika yang diperankan oleh Daniel Day. Lincoln film yang bagus, jangan salah paham. Namun penampilan Daniel Day saat itu terlalu meyakinkan untuk tidak jadi sorotan utama. Oscar ketiga adalah ganjaran yang tepat. Ia satu-satunya aktor yang membuatku penasaran bagaimana rasanya akting.
Di malam lebaran kemarin, aku punya banyak sekali hal yang ingin ditulis. Tapi aku terlalu ngantuk sehingga aku putuskan untuk tidur saja. Di hari H, aku bertekad untuk menuliskan yang tertunda. Tapi aku menundanya lagi sampai sekarang. Tekad yang kurang kuat. Lebaran sudah lewat satu hari. Segala yang kuingin tulis pun ikut-ikutan lewat begitu saja. Aku tahu sekarang mengapa setiap tips menulis menyuruh kita segera menuliskan setiap ide yang melintas. Karena jika ditunda, ide itu akan menguap bersama perginya antusiasme. Dalam hidup ini, kita tidak bisa selalu antusias. Antusias datang sekali-kali saja. Nah ketika ide datang, di situlah berkumpul antusiasme. Bagus sekali jika menulis bersama antusiasme. Excitement yang timbul akan membuat kita lebih berenergi. Sementara menunda hanya akan membunuh antusiasme itu. Akhirnya kita jadi tidak bisa menulis apa-apa. Namun agaknya, aku tidak bisa selalu mengandalkan antusiasme untuk menulis. Ketika antusiasme dan spontanitas itu diperlukan, aku juga perlu menciptakan kondisi tersendiri untuk menulis dengan atau tanpa antusiasme. Aku setuju, bahwa menulis tidak boleh dipaksakan. Terkadang kita butuh waktu. Tapi, selama kita bisa menciptakan kondisi itu, kita perlu tetap menulis. Setidaknya untuk berlatih. Menurutku, menulis tidak berbeda dengan olahraga. Orang yang menjadikan olahraga sebagai pekerjaan utamanya harus selalu berlatih. Ada waktu ia beristirahat, tapi aku yakin seorang atlet tidak boleh terlalu lama berhenti. Begitupun dengan penulis. Aku malu menyebut diri penulis. Tapi selama ini, menulis adalah pekerjaan utamaku. Sebagai orang yang kerjaannya menulis, sudah jadi tugasku untuk berlatih mengupgrade kemampuan menulis. Berlatih menulis tentu saja dengan menulis.
Hari ke-2 lebaran. Suasana kemenangannya masih hangat meski kue putri salju Ina Cookies yang enak sudah ludes. Aku nggak ikut shalat ied karena menstruasi. Aku juga nggak banyak ibadah selama bulan Ramadhan. Ketika Ramadhan tampak begitu spesial untuk banyak orang islam lainnya, aku merasa menjalani bulan Ramadhan seperti menjalani bulan-bulan lainnya. Penghayatanku terhadap Ramadhan sangat kurang. Malam takbir pun kulalui dengan tidur nyenyak. Aku nggak mengirimkan pesan ‘Selamat lebaran mohon maaf lahir dan batin’ pada orang-orang. Tapi seorang sahabat mengirimku pesan panjang di malam takbir. Ia berharap aku jadi pribadi yang lebih baik, lalu punya pacar yang baik, pekerjaan yang baik, sekolah yang baik. Pokoknya, ia berharap harapanku didengar Tuhan. Katanya, Tuhan mah aneh, tapi mungkin niatnya baik.
Aku merenung membaca pesannya. Aku sudah lama menyadari bahwa aku nggak bahagia, tapi aku baru menyadari bahwa aku nggak benar-benar hidup. Kupikir pagi itu (setelah membaca pesannya), hidup macam apa yang setiap bulir waktunya lewat begitu saja tanpa arti? Usiaku baru 25, tapi sudah semakin berkurang hal-hal yang membuatku antusias dan excited. Kapan terkahir kali aku menikmati hidupku? Aku bertanya-tanya. Tiba-tiba, aku rindu masa-masa ketika dulu aku excited setiap menjelang lebaran karena aku bakal dapat baju baru. Kapan terakhir kali aku semangat beli baju baru menjelang lebaran? Kukira, ritual beli baju baru tidak selalu buruk. Dilihat dari segi ekonomi, itu memang bisa jatuh pada konsumerisme. Tapi dilihat dari sisi lain, entah apa, itu bentuk spirit hidup.
Ramadhan dan bahkan idul fitri ini, mungkin terasa biasa saja. But I’m longing for something deep inside. Mungkin itu pertanda aku mau kembali hidup. Bukan hidup karena aku sudah terlanjur hidup dan nggak cukup berani untuk mengakhirinya. Tapi hidup karena aku mau.
Hari ke-2 lebaran. Aku mengamini do’a temanku.
Cibadak, 26 Juni 2017